Senin, 13 Juni 2011

ALLAH PAMER KEPADA MALAIKAT TENTANG ADAM / MANUSIA


Pada awalnya, lewat persaksian dan kesepakatan Manusia dengan Allah, Allah secara khusus telah meminta komitmen manusia atas “kepemilikan” Allah terhadap si manusia: “Bukankah Aku ini Tuhan-mu??”. Lalu dengan tergopoh-gopoh dan mantap si manusia menjawabnya: “benar ya Tuhan, saya bersaksi”. Sejak itulah sebenarnya si manusia siap untuk menyandang predikat DUTA ISTIMEWA Tuhan dan siap pula untuk menjalan tugasnya sebagai WAKIL TUHAN (khalifah) di tempat yang telah dipersiapkan, yaitu di bumi berikut dengan alam semesta yang mengitarinya.



Setelah itu Allah pamer kepada Malaikat tentang Duta Istimewa-Nya ini:



Hai para makaikat, ini lho Duta Istimewa Ku untuk Ku jadikan sebagai WAKIL-KU dalam memakmurkan, mengelola dunia”.



Dan Allah meminta kepada para malaikat untuk menghormat sujud kepada Sang Duta Istimewa. Dengan melihat sosok duta ini, pada awalnya malaikat agak ragu dengan kualitas Duta Istimewa ini, jangan-jangan Sang Duta berkhianat seperti berkhianatnya Duta sebelumnya yang senang bersimbah darah satu sama lain. Sang Duta terdahulu lebih sering mengumbar bencana ketimbang memakmurkan dan mengelola lingkungannya. Akan tetapi keraguan malaikat ditepis dengan sentuhan lembut tetapi tegas kedalam wilayah pengertian malaikat:



“Aku lebih tahu apa-apa yang tidak kamu ketahui…”.



Tiada lain yang dapat dilakukan oleh malaikat selain patuh dan tunduk kepada perintah Tuhan. Malaikat dengan RELA lalu tunduk dan sujud kepada Adam, Sang Duta Istimewa.



Seiring dengan pengukuhan Adam Sang Duta Istimewa (manusia), untuk menyandang Tugas kekhalifahan di muka bumi, maka Allah telah melengkapi sang manusia dengan perangkat yang nyaris sama dengan milik Allah Sang Pengutus itu sendiri. Dengan perangkat yang diberikan itu, sang manusia bisa mencipta, berkreasi, mengatur, mengolah, menumbuhkan, menghancurkan, mematikan…, segala sesuatu yang berada dalam objek kekhalifahannya. Disamping itu, perangkat melihat, mendengar, merasa, dan mengetahui juga difasilitasi Allah kepada Sang Duta Istimewa dengan sangat mengagumkan dan dengan fungsi yang nyaris tidak terbatas pula. Dengan segala sifat, tindakan, dan kemampuan yang difasilitasi itu, maka Sang Duta Istimewa mulai secara gradual menciptakan kebudayaan demi kebudayaan yang berkembang dari tingkat yang sangat sederhana sampai dengan tingkat yang sangat mengagumkan saat ini, dan bahkan masih akan berlanjut untuk masa-masa yang akan datang.



Setidak-tidaknya ada sekian puluh sifat-sifat “Sang Presiden” yang bisa di sandang dan dipakai pula oleh Sang Duta Istimewa. Semua sifat, laku dan pekerti itu sebenarnya hanyalah sebagai mandat yang diberikan kepada Sang Duta Istimewa, dan untuk sementara pula, untuk mewakili Sang Presiden di wilayah tempat mana dia dikirim. Setiap saat Sang Duta harus melaporkan, mempertanggung-jawabkan setiap pemakaian sifat Presiden yang dia lakukan. Setiap saat dia harus lapor diri kepada Presiden atas apa-apa yang telah dia perbuat, dia lakukan, dia hancurkan, dan sebagainya. Secara regular Sang Duta harus berterima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan oleh Presiden kepadanya. Secara kontinu, Sang Duta sudah sewajarnya membesarkan nama Presiden yang memberinya kesempatan untuk mewakili Sang Presiden.



Berbilang zaman kemudian berlalu dengan cepat. Dan dengan cepat pula Sang Duta Istimewa (seluruh manusia secara kolektif) mulai berkhianat terhadap Sang Presiden yang mengangkatnya. Satu persatu sifat Sang Presiden mulai “diaku” oleh Sang Duta Istimewa sebagai miliknya sendiri. Sifat-sifat Sang Presiden yang selalu menjaga dua sifat yang berbeda berada dalam keseimbangan, misalnya panas dan dingin, baik dan buruk, Im dan Yang, mulai di acak-acak oleh Sang Duta Istimewa. Padahal bagi sang pemilik sifat itu sendiri, yaitu Presiden, ke 99 sifat itu berada dalam suasana dan kondisi yang sangat-sangat seimbang. Keseimbangan inilah yang telah membuat alam semesta ini selalu bergerak dan berkembang dalam keharmonian. Dan dengan nyata kemudian, masa demi masa protes malaikat terhadap pengutusan duta istimewa dulu itu seperti terbukti dengan sangat meyakinkan. Sang Duta Istimewa memang berkhianat. Sang Duta Istimewa lalu lebih cocok dipanggil sebagai Sang Pengkhianat Tuhan, dibandingkan dengan Khalifah Tuhan (duta istimewa Tuhan). Adalah sebuah hal yang logis saja kalau Sang Pengkhianat lalu di hukum oleh Sang Pengutusnya. Dan siksa dan hukuman itulah yang kini sedang dialami oleh hampir semua umat manusia, kecuali bagi duta-duta yang tidak berkhianat.



Duta macam apakah yang tidak berkhianat itu….?,

Apa sebenarnya sumber dari pengkhianatan itu…?.

Genderang pengkhianatan duta-duta istimewa Tuhan, yaitu manusia, berlanjut dengan mulus tanpa hambatan. Tidakkah dengan pengkhianatan ini praduga malaikat terbukti bahwa saat Allah memperkenalkan duta istimewa pertama-Nya yaitu Adam, nanti Sang Duta ini akan berkhianat dan melenceng dari tugas kekhalifahan menjadi tugas pengkhianat dan penumpah darah…?.

Gerangan apakah penyebabnya sehingga Sang Duta-Duta Istimewa itu terjerumus ke dalam jurang pengkhianatan itu…?.



Untuk mencari akar penyebab pengkhianatan itu, maka mari kita bongkar dan urai point demi point dengan santai saja…!.



Sang Pengkhianat Tuhan



Nah dengan segala fasilitas yang sangat sempurna sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, maka Sang Duta Istimewa mulai lupa, bahwa semua itu hanyalah amanah yang dipinjamkan sementara kepada Sang Duta Istimewa. Yang namanya amanah, ya nggak boleh diaku sebagai miliknya sendiri. Tetapi itulah……!!:



Saat Sang Duta berhasil mencipta dan berkreasi, maka dia dengan angkuh mulai mengaku: “Ini ciptaan dan kreasiku..”.



Saat Sang Duta berhasil mendapatkan sesuatu, maka dia dengan jumawa mulai mengaku: “Ini milikku…”.



Saat Sang Duta merasa terganggu, maka dengan garang dia mulai meradang: “Kau melawanku, maka kau ku hancurkan…”.



Saat Sang Duta betah menikmati kekuasaannya, maka dia mulai berteriak angkuh: “Ini kekuasaanku… ini kerajaanku…, ini perusahaanku…,



Saat Sang Duta mampu melihat, mendengar dan mengetahui, merasakan segala sesuatu, maka dengan pongah dia mulai mengaku: “Ini penglihatanku…, ini pendengaranku…, ini pengetahuanku…, ini perasaanku…,



Lengkap sudah pengakuan itu…, semua diaku sebagai milik dari Sang Duta itu sendiri.



Padahal…!!!! :



Hakikinya penciptaan dan kreatifitas itu adalah proses yang dilakukan oleh Sang Pengutus, Allah, itu sendiri yang dialirkan-Nya melalui otak Sang Duta Istimewa,



Sebenarnya segala sesuatu itu adalah milik Sang Pengutus itu sendiri yang dialirkan-Nya melalui otak Sang Duta Istimewa,



Seyogyanya segala kekuasaan, kerajaan, perusahaan adalah milik Sang Pengutus itu sendiri yang dialirkan-Nya kepada otak dan diri Sang Duta Istimewa,



Sebenar-benarnya segala penglihatan, pendengaran, tahu, dan perasaan adalah kepunyaan Sang Pengutus yang dialirkan-Nya melalui otak, mata, telinga, dan dada Sang Duta Istimewa.



Sebutlah apa saja yang bisa dinikmati oleh Sang Duta Istimewa…, maka pada hakikatnya semua itu adalah milik Sang Pengutus, Allah, yang dialirkan-Nya kepada diri (nafs) Sang Duta Istimewa. Jadi Sang Duta Istimewa hanyalah SEAKAN-AKAN, SEPERTINYA saja memiliki semuanya itu. Karena dia memang hanyalah sebagai wakil, sebagai wali, sebagai sarana bagi terlaksananya segala kreativitas dan keramaian yang diciptakan oleh Sang Pengutus bagi setiap ciptaan dan kreasi-Nya.



Karena sebenarnya yang terjadi adalah, bahwa Allah mengalirkan segala sifat dan pengetahuan-Nya ke dalam otak manusia untuk misalnya, menciptakan pesawat terbang, kapal laut, pabrik baja, dan sebagainya. Allah bermain sepak bola, golf, dsb., lewat aliran keinginan dan gerak ke dalam otak manusia.



Begitu juga untuk membangun, merangkai, menyusun, bahkan untuk menghancurkan kebudayaan manusia melalui aliran tahu dan sifat-Nya ke dalam otak manusia itu sendiri. Misalnya, Allah menghancurkan Irak, Afghanistan, Al Qaeda melalui aliran otak Bush beserta konco-konconya, dan otak Saddam Husein, Hikmatiar, Osama Bin Laden sendiri. Allah menghancurkan penganut agama Islam pasca Rasulullah melalui otak Ali, Usman, Aisyah, Umaiyyah, dan sahabat-sahabat lainnya serta umat Islam sendiri dari dulu sampai sekarang. Ungkapan ini sepintas seperti membingungkan, akan tetapi nanti pada bagian lain akan dibahas lebih detail, bahwa kehancuran umat Islam pasca Rasulullah adalah karena mereka tidak pernah mau mengikuti maunya Al Qur’an dan Sunnah. Padahal dengan semangat 45 semboyan umat Islam itu adalah “selalu berpedoman kepada Al Qur’an dan Sunnah” itu sendiri. Nanti akan saya bahas pada bagian berikutnya tentang sumber kekeliruan pemahaman yang sudah sangat kronis ini.



Mari kita kembali dulu kepada serba serbi Sang Pengkhianat Tuhan…



Setelah duta istimewa (manusia) ini melakukan pengkhianatan kepada Tuhan, dimana Sang Duta sudah tidak menyadari lagi, bahkan sudah tidak mampu lagi untuk mengembalikan kesadarannya, bahwa apa-apa yang dia miliki sebenarnya (hakikinya) hanyalah gerak Tuhan, pengetahuan Tuhan, tahu Tuhan, milik Tuhan, penciptaan Tuhan, maupun penghancuran Tuhan melalui ALIRAN dari-Nya ke dalam otak manusia untuk membangun peradaban di dunia ini, maka proses sunnah pun berlangsung tanpa bisa dihentikan lagi. Akibatnya, segala sesuatu tindakan Sang Duta Istimewa lalu cenderung mengarah kepada pembentukan suasana ketidak-keseimbangan dalam hukum-hukum Tuhan (sunnah) dan sebagai konsekwensinya dia pasti terkena libasan dahsyat sunnah itu sendiri.



Maka jadilah manusia itu tidak mampu lagi memanfaatkan mandatnya untuk memakai sifat-sifat Tuhan sebagai duta istimewa untuk mewujudkan kemakmuran dan kemajuan dirinya sendiri. Sifat-sifat dan tindakan-tindakan Tuhan yang seharusnya bisa membuat keseimbangan antara penciptaan dan penghancuran, penghukuman dan kasih sayang, memelihara dan merusak, menyempitkan dan melapangkan, memuliakan dan menghinakan, penyiksa dan pemaaf, pemberi derita dan pemberi manfaat, dan sebagainya, lalu mengalir melalui otak manusia dalam suasana timpang dan tidak seimbang lagi.



Saat manusia berkuasa, misalnya, akan tetapi pada saat itu dia berada dalam posisi pengkhianat kepada Tuhan, maka ketika itu dia akan cenderung hanya bisa menerima aliran sifat dan tindakan Tuhan melalui otaknya yang mengarah kepada situasi penghancuran, merusak, menyempitkan, menghinakan, mematikan, penyiksa, pemberi derita dan perilaku negatif lainnya. Sedangkan perilaku dan sifat-sifat sebaliknya yang positif seperti memelihara, melapangkan, memuliakan, pemaaf, pemberi manfaat menjadi tenggelam ke dalam hati kecilnya yang terdalam. Hati kecilnya itu hanya bisa megap-megap seperti kehabisan nafas dan tak mampu berbuat apa-apa untuk membalik keadaan agar bisa menjadi mengarah kepada kebaikan.



Akibatnya adalah :



Saat dia berkuasa dalam sebuah rumah tangga, maka rumah tangga itu akan menjadi neraka kecil dalam kehidupannya.



Saat dia berkuasa pada sebuah perusahaan, maka perusahaan itu akan runtuh dan tinggal nama dalam beberapa waktu lagi.



Saat dia berkuasa pada sebuah negara atau wilayah, maka wilayah itu akan bisa dipastikan menjadi hancur dan menyedihkan bagi rakyat yang di bawah perintahnya.





Ketidakpatuhan Kolektif



Disamping pengkhianatan kepada Tuhan dalam bentuk PENGAKUAN atas kepemilikan Tuhan oleh Sang Duta Istimewa, masih ada lagi sebuah pengkhianatan lainnya dalam bentuk KETIDAKPATUHAN KOLEKTIF manusia atas SUNNAH atau hukum-hukum Tuhan (sunnatullah). Pengkhianatan dalam bentuk ketidakpatuhan kolektif ini lebih disebabkan oleh gagalnya manusia memahami makna sunnatulah seperti apa adanya dan apa yang seharusnya. Kesalahan pemahahaman manusia ini lebih disebabkan oleh paradigma berpikir yang keliru dalam mengartikan sunnah yang tercantum dalam kitab-kitab suci yang diturunkan kepada manusia itu sendiri, sehingga sunnah itu menjadi sempit dan kadaluarsa dimakan perputaran zaman.



Dalam agama Islam, misalnya, sunnah yang terkumpul dalam bentuk Al Qur’an dan Aal Hadits, telah dipahami oleh hampir sebagian umat Islam sebagai dua sumber hukum yang sangat tinggi tingkatannya sebagai pedoman bagi manusia dalam menjalankan fungsi kekhalifahannya di muka bumi ini. Sampai disini sebenarnya tidak ada yang salah. Akan tetapi dalam pemahaman dan kenyataannya, dari masa ke masa sunnah itu seperti TUMPUL dan tidak mampu menjawab tantangan peradaban dizamannya. Bahkan berbilang zaman, pemahaman sunnah itu seperti tidak mampu membangun peradaban yang katanya “ya’luu walaa yu’laa alaihi” bahwa agama dan peradaban Islam itu tinggi dan tidak ada yang menandingi ketinggiannya. Slogan manis ini hampir-hampir saja menjadi ungkapan kosong yang tak terbukti (utopia) dalam kehidupan nyata bagi pemeluknya. Jauhlah panggang dari api…



Kenapa bisa begini…?

Apakah Al Qur’an dan Al Hadits itu sudah tidak sesuai lagi dengan Sunnatullah….?. Astagfirullahal adhiem…, ini tentu sebuah ungkapan yang mengerikan.

Akan tetapi, kalau tidak begitu kenapa hasilnya seperti tidak ada ….???.



KEMUNGKINAN PENYEBABNYA



Dalam aliran pengertian dan informasi yang masuk ke dalam otak saya, ternyata sumber semuanya itu adalah karena telah terjadinya kerancuan paradigma berfikir bagi penganut agama Islam terhadap kedua sumber hukum tadi yaitu Al Qur’an dan Al Hadits yang sudah sedemikian lamanya dan turun temurun serta diwariskan pula kekeliruan itu dari waktu ke waktu. Artinya telah terjadi ketidakpatuhan kolektif mayoritas umat Islam terhadap pemahaman dan pelaksanaan sunnah yang mereka agung-agungkan sendiri itu.



Diantaranya adalah:



1.     Pemahaman-pemahaman tentang problematika kekinian peradaban



Umat selalu mau dibawa dan ditarik kembali menuju peradaban sederhana kalau tidak mau dikatakan primitif di zaman Rasulullah, sahabat, dan salafus shalih dahulu kala. Kalau tidak ada contoh dari zaman-zaman Nabi dan salafus shalih tersebut, maka sebuah senjata pamungkas yang menakutkan kemudian dikeluarkan: “Itu adalah BID’AH, setiap BID’AH adalah sesat, dan setiap kesesatan imbalannya adalah NAARRRR (NERAKA)”. Cerdas benar orang yang telah memelintir senjata yang sebenarnya sederhana ini menjadi sebuah senjata pamungkas sehingga perkembangan umat Islam menjadi mandeg dalam segala hal. Sehingga umat Islam lalu menjadi bulan-bulanan atas ketakutan mereka sendiri untuk menjalankan kekinian yang sangat jauh berbeda dengan zaman salafus shalih dulu itu.



Padahal makna Bid’ah yang diganjar dengan neraka itu, kalau masih mau dipakai, hanyalah sebatas yang berhubungan dengan ritual ibadah seperti shalat, haji, puasa, dan pada taraf tertentu adalah mengenai harta. Sedangkan untuk membangun sebuah kebudayaan, maka boleh dikatakan semua asesorisnya adalah baru, BID’AH. Jadi untuk membangun kebudayaan itu, maka boleh dikatakan semuanya adalah BID’AH, karena nyaris semuanya tidak ada contohnya di zaman Nabi dan salafush shalih dulu.



Bagaimana mungkin sebuah BUDAYA (dengan segenap asesorisnya) di zaman kosmopolitan seperti sekarang ini mau ditarik mundur menuju peradaban sederhana di zaman Nabi dan salafush shalih itu…??. Kalau pun ada yang mengatakan itu bisa, maka hasil yang akan didapatkan adalah sebuah peradaban yang menjadi tontonan orang banyak karena keanehannya.



Disamping itu, bagaimana mungkin budaya umat Islam yang berasal dari berbagai bangsa dengan budaya dan peradaban yang berbeda mau dibawa dan ditarik menjadi sebuah budaya berbau ARAB, misalnya keislaman seseorang masih mau ditandai dengan atribut-atribut seperti memakai gamis, bersorban, dengan tasbih di tangan, dan siwak menempel di mulutnya pula. Pada aliran-aliran tertentu malah, seorang ulama, Kyai Haji, ustadz akan merasa belum afdhal kalau dia belum terlihat seperti figur WALI SONGO dalam sinetron di TV. Padahal dulunya Abu Jahal, Abu Lahab, dan pembesar-pembesar Quraisy penentang Nabi juga memakai gamis dan bersorban pula. Apa bedanya kalau begitu, kalau masih terpaku dengan atribut lahiriah belaka..?. Bahkan baju gamis yang dianggap sebagai ciri khas kelompok-kelompok tertentu di Indonesia ini ternyata di Pakistan dan Afghanistan sana juga  dipakai oleh tukang sampah dan petani-petani untuk ke sawah.



Banyak lagilah kerancuan umat Islam dalam pemahaman kata BID’AH dan perubahan kebudayaan ini, sehingga terlihat benar bahwa sebagian besar umat Islam lalu menjadi serba salah, serba kikuk, serba terbata-bata, dan gagap budaya.



Tentang BID’AH ini, ada hal lain yang menarik, yaitu mengenai praktek-praktek yang sangat lazim di masyarakat Indonesia, yang meliputi fenomena keparanormalan dengan segala variannya. Masyarakat awam boleh dikatakan sangat menikmati dan mempercayai sensasi-sensasi mistis di dunia paranormal ini. TV pun berlomba-lomba menampilkan acara-acara yang bagi penggemarnya selalu ditunggu-tunggu walaupun ulama dan da’i sampai serak berteriak-teriak di mimbar khotbah mengatakan bahwa semua itu adalah BID’AH, SYIRIK, HARAM. Cap bid’ah ini juga diberikan terhadap acara-acara budaya atau kebiasaan masyarakat seperti ziarah kubur, pengobatan alternatif dengan segenap macamnya (ulama mengkategorikannya sebagai perdukunan), kepercayaan tentang roh-roh gentayangan, sihir, mantra-mantra, dan praktek-praktek lainnya yang bersinggungan dengan praktek budaya dan praktek ibadah agama Budha dan Hindu. Walaupun telah dimasyarakatkan oleh MUI (sebagai wakil formal ulama) bahwa semua itu adalah BID’AH, akan tetapi tetap saja masyarakat umum secara mayoritas mengakuinya, mempraktekkannya walau kadangkala dengan malu-malu kucing. Sehingga ada kesan bahwa loyalitas dan kepatuhan masyarakat terhadap ulama sudah sangat lemah. Ulama berkata apa, umatnya prakteknya lain lagi.



Bahkan ada yang lebih aneh lagi, praktek dzikir ustadz Arifin Ilham, Aa Gym, ustadz Haryono dan beberapa praktek serupa seperti dalam tasawuf (tarekat) juga ada yang membid’ahkannya, sehingga yang bingung ya…. umat sendiri, yang akhirnya mereka rancu sendiri…, nggak tahu mana yang benar.



Kenapa sampai begini…?.



Jawabannya sangatlah sederhana, bahwa umumnya masyarakat sudah tidak mampu lagi untuk merasakan kelezatan cita rasa beragama. Tegasnya agama itu tidak ada rasanya lagi. Yang ada hanya ketakutan demi ketakutan atas hukuman Tuhan akibat paradigma yang menjadikan agama hanya sebatas kepatuhan terhadap perintah dan larangan Tuhan dan Nabi (yang dalam khotbah-khotbah dijadikan sebagai definisi TAQWA). Dan juga yang dicari dalam beragama itu pada umumnya hanyalah sebatas pahala dan syurga, tetapi dimensinya untuk di akhirat nanti. Di dunia ini…?, ya utopia saja sudah cukuplah. Dan biasanya orang-orang utopia inilah yang lebih banyak bingungnya, lebih banyak menyalah-nyalahkan orang lain dengan semangat 45 pula.



Akibatnya mana mungkin sebuah bentuk praktek agama yang hasilnya hanya sebatas utopia bisa menggantikan suatu praktek budaya atau ritual keagamaan yang ada RASA-nya…???. Tidak mungkinlah…!!!.



Ditingkat rasa inilah sebenarnya para pemraktek ritual mistis keagamaan lebih banyak berada (kalau tidak mau dikatakan semuanya), seperti dzikir berjamaah, tasawuf, paranormal dan fenomena sejenisnya. Praktek aliran SYI’AH-pun berada diwilayah ini, yaitu dengan menimbulkan rasa cinta yang sangat dalam dan pekat terhadap Ahlul Bait, bahkan untuk generasi terkini masuk juga seorang Khomeini didalamnya. Apalagi pengagungan dan pemujaan berlebihan penganut Syi’ah ini terhadap Rasulullah, sungguh menakjubkan sekali. Sampai-sampai pernah ada yang mencoba MEMBANDINGKAN Muhammad SAW dengan Nabi yang lainnya dan kesimpulannya adalah bahwa Nabi Muhammad is the best among them. Disamping itu, walaupun misalnya penganut Syi’ah di Indonesia belum pernah bertemu dengan Ahlul Bait ataupun dengan Imam Khomeini ini, penganutnya bisa menangis histeris walau hanya dengan “mengingat-ngingat” atau membaca riwayat penderitaan, kegagahan, kegigihan dan pemikiran beliau-beliau itu.



Ada RASA di dalam kecintaan itu…!!!

Ada tangis disitu…!!!

Ada ekstasis disitu…!!!



Sehingga para pencari rasa dalam beragama akan ketagihan untuk mendapatkan dan mendapatkan lagi sensasi RASA itu. Kalau mereka sudah merasakan RASA itu, maka pengamalnya akan mencarinya kemana pun dan kapan pun agar rasa itu bisa muncul lagi. Efek ketagihannya hampir sama dengan ketagihan orang terhadap rokok ataupun narkotik. Dan akibatnya jadilah mereka penganut aliran yang terikat kuat dengan alirannya itu. Dilarang-larang…?? Woou mereka bisa membunuh orang yang melarangnya itu…!!!.



Fenomena apakah ini…??

Apakah ini salah atau benar…??.

Mari kita bahas sedikit lebih detail.



Rasa, tangis, histeris, dan bahkan bergemuruhnya dada serta bergetarnya tubuh, ternyata barulah sebatas sensasi FISIK dan EMOSI saja. Untuk mendapatkannya maupun efek serta pengaruh yang muncul bagi pemrakteknya hampir-hampir tidak ada bedanya sama sekali diantara penganut agama-agama yang ada. Semua bisa merasakannya, tak terkecuali orang atheis sekali pun. Siapa pun yang berhasil menahan gejolak badai fikiran di otaknya dan menujukan arah fikirnya hanya kepada suatu objek saja, maka dengan memberikan sedikit sentuhan irama dan kata-kata yang menghiba-hiba ataupun yang membahagiakan, maka hampir pasti orang itu akan menangis bahkan bisa sampai taraf histeris. Emosional saja sebenarnya sifatnya.



Akan tetapi sekarang, baru sampai pada taraf menangis ini sudah diartikan oleh banyak orang sebagai sebuah PERISTIWA SPIRITUAL. Dan orang sudah bangga dengan itu…!!!



Ooo…., saya sudah bisa menangis dengan melakukan praktek dzikir ini-itu…

Aduh… hati saya menjadi damai setelah dzikir di tempat anu dan saya bisa menangis disitu…!!!.



Selama rasa itu masih ada, maka selama itu pula orang itu akan merasa sangat beragama, sangat merasa bertaqwa, merasa imannya sedang naik, dan merasa menjadi orang baik.



But…, ssstttlet me tell you a little secret…..

Biasanya orang yang sedang menikmati sensasi rasa ini mukanya kelihatan KUYU, tidak bersemangat, maunya duduk mojok dan bersunyi-sunyi diri (mirip Rabiah Al Adawiyah, seorang sufi perempuan yang terkenal dengan kecintaan Beliau kepada Tuhan dan menyebabkan Beliau selalu mengurung diri d ikamar dan menangis terus dan tidak mau nikah seumur hidup Beliau). Dan … believe it or not, biasanya setelah itu, tak lama kemudian, rasa itu akan hilang kembali. Akibat rasa ini kendor atau malah bisa hilang sama sekali, maka orang yang baru sampai di wilayah rasa ini, akan merasakan imannya seperti sedang turun, ketaqwaannya sedang di uji, sehingga dia akan kembali mencari rasa itu kemana pun dan kapan pun. Sensasi turun naiknya rasa ini kemudian dalam istilah agama disebut sebagai terbolak-baliknya hati, atau turun naiknya iman yang lokasi keberadaannya adalah di dada. Istilah populer untuk lokasi tempat terjadinya proses ini adalah QALBU (hati).



Makanya lalu muncul istilah-istilah seperti Manajemen Qalbu, pembersihan hati, dan yang sejenisnya. Intinya adalah bagaimana menjaga dan mengatur agar RASA tadi tidak lagi bolak balik. Akan tetapi disinilah muncul masalahnya, bagaimana kita akan bisa mengelola dan mengatur sebuah SIFAT (QALBUN) yang memang telah disiapkan sejak awal oleh Allah untuk terbolak-balik seperti itu, seperti telah disiapkannya sifat panas dan dingin, gelap dan terang, tetapi tetap selalu berada dalam sebuah harmoni kehidupan…



Salahkah rasa ini…?.

Cukupkah beragama itu hanya sampai pada sebatas pencapaian RASA itu saja…??. Lalu bagaimana… ?.



Tidak ada yang salah dengan adanya sensasi RASA dalam beragama ini.  Karena rasa itu adalah sesuatu pengalaman yang sangat empiris, sama empirisnya dengan benda-benda NYATA seperti air, tumbuhan, udara, dan sebagainya. Akan tetapi mungkin hanya sedikit orang yang bisa menyadari bahwa dalam beragama tidak cukup hanya sebatas pada pencarian RASA. Rasa itu perlu, akan tetapi pada wilayah rasa ini pulalah tempatnya jebakan yang sangat memabokkan penikmatnya. Rasa itu adalah sebuah wilayah yang penuh dengan seribu macam jebakan yang sangat mengganggu. Dengan rasa orang bisa mencintai “suatu objek” tempat mengalirnya rasa cinta itu mulai dari kadar yang sederhana seperti mencintai benda-benda seni, binatang peliharaan, tumbuh-tumbuhan hias, sampai dengan kadar yang sangat pekat seperti mencintai anak, istri, suami, atau pacar.



Bahkan ada juga rasa cinta dengan kadar yang sungguh mengagumkan dan nyaris tanpa reserve kepada objek cintanya seperti yang diperlihatkan oleh penganut Syi’ah dalam mencintai Nabi Muhammad, dan Ali Bin Abi Thalib, Hasan, Husein, imam-imam Syi’ah, termasuk Imam Ghaib Al Mahdi yang dipercayai oleh penganutnya masih exist sampai dunia kiamat kelak untuk memberikan manfaat dibalik hijab kepada umat manusia seperti ungkapan berikut:



“Imam adalah inti dan jantung dunia wujud. Tanpa keberadaannya, dunia akan hancur dan sirna. Oleh karena itu, keberadaan imam kendati ghaib adalah lazim dan merupakan sebuah keharusan. Sebagaimana manusia dapat mengambil manfaat dari matahari yang bersembunyi di balik awan, begitu juga manusia dapat merasakan anugrah wujud ghaib beliau. Di samping itu, pada masa ghaib tidak sedikit orang yang memiliki kebutuhan dan hajat yang terlaksana berkat uluran tangan dari wujud Imam as. Begitu juga wujud Imam merupakan penyebab tumbuhnya harapan manusia, sekaligus faktor penting dalam mensupport manusia dalam pembersihan jiwa dan persiapan untuk kemunculan beliau as.”(SAL, Aqidah Syiah, hal 102).



Dengan kadar cinta yang sangat luar biasa seperti ini, maka sudah tidak jelas lagi BEDA ARAH OBJEK RASA CINTA antara mana yang cinta kepada ALLAH, mana yang kepada Muhammad, mana yang kepada Ahlul Bait, dan mana yang kepada Imam Ghaib Al Mahdi. Semuanya bersatu berpilin-pilin kusut dalam sebuah laku syariat yang dipraktekkan oleh penganut aliran syi’ah. Dan hari-hari para pencinta ini akan di isi dan dikendalikan oleh rasa cinta terhadap objek itu yang bagi orang lain mungkin terlihat aneh dan berlebih-lebihan.



Pada bagian sebelumnya sudah diulas secara singkat tentang ada pula orang, kelompok atau aliran yang mencoba mengalirkan rasa cintanya hanya kepada ALLAH seperti yang diperlihatkan oleh sufi wanita Rabiah Al Adawiyah. Dengan rasa cinta yang membara kepada Allah, maka sang sufi hanya asyik masyuk dengan “pendekatannya” kepada Allah dan di lain pihak meninggalkan fungsi kekhalifahannya untuk membangun dan menjadi rahmat bagi alam semesta.



Dengan rasa pulalah orang bisa membenci, memusuhi, menyiksa, bahkan sampai membunuh orang lain, serta menghancurkan sebuah kebudayaan atau bangsa. Saat muncul sebongkah rasa tidak senang seseorang atau sekelompok orang atau aliran terhadap orang lain karena orang lain itu menghalangi munculnya rasa enak dan ekstasis pada dirinya melalui sebuah praktek agama atau kejiwaan, maka saat itu pulalah sebuah power yang sangat dahsyat mulai diciptakan dan siap untuk dimuntahkan kepada lawannya. Dunia Islam sudah sangat kenyang dengan pengalaman membanjirnya darah merah akibat penganut aliran-aliran atau sekte-sekte di dalam agama Islam saling terjebak dengan sensasi RASA ini (nanti pada bagian tersendiri akan ditambah dengan uraian terjebaknya aliran-aliran ini dalam INTELEKTUALITAS tentang pemahaman Al Qur’an dan Al Hadits).





2.     Sejarah Hitam …



Awal sejarah hitam ini telah dimulai oleh sahabat-sahabat Nabi tak lama setelah wafatnya Nabi. Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ai’syah, dan Mu’awiyah, adalah sedikit nama dari ratusan bahkan ribuan nama-nama lainnya yang telah menorehkan tinta merah dalam sejarah perjalanan Islam dengan terciptanya dua aliran utama (mainstream) di dalam Islam yaitu Ahlussunnah (Sunni) di satu sisi dan Syi’ah di sisi lainnya, yang masing-masing mengklaim bahwa yang MURNI ISLAM itu HANYALAH kelompok mereka. Masing-masing sisi mencap sisi lawannya sebagai KAFIR. Syi’ah menganggap penganut Sunni sebagai KAFIR, SESAT, TERLAKNAT, dan darah pembelotnya pun halal untuk ditumpahkan (lihat … Mengapa saya keluar dari Syiah, hal X, Sayyid Husain Al Musawi). Dipihak lain, Sunni pun mencetak label KAFIR, SESAT kepada aliran Syi’ah ini dan darahnya halal untuk ditumpahkan (lihat… Sikap Syi’ah terhadap Al Qur’an, hal 53, Ahmad bin Abdullah Al-Hamdan).



Dan yang sangat mengagumkan lagi, varian dari dua aliran besar inipun bermunculan dengan pesat. Jumlahnya mungkin sampai ratusan varian yang membuat kebesaran ISLAM, AL QUR’AN, Muhammad SAW, menjadi hanya sebatas pengertian pihak Sunni saja, atau pihak Syi’ah saja, atau pengertian dari pihak varian aliran-aliran yang muncul bak cendawan di musim hujan. Karena Islam itu TELAH menjadi kecil terkotak-kotak dan tersayat-sayat, maka ISLAM itu dengan cepat menjadi seperti lentera yang kehabisan minyak, dan dengan mudah dikalahkan oleh bangsa-bangsa lainnya. Islam telah terkapar tak berdaya akibat tingkah penganutnya sendiri.



Aneh bin ajaibnya, “semangat” penorehan tinta darah itu sepertinya mau dipertahankan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Saat inipun generasi penerus penoreh tinta merah itu exist bergerak dengan sangat intens, dan tetap akan tetap exist selama tidak adanya niat diantara mereka untuk melakukan “REKONSTRUKSI BERFIKIR” terhadap ISLAM itu sendiri.



Kalau begitu, adakah JALAN KELUAR (MAKHRAJA) dari dahsyatnya pengaruh JEBAKAN RASA ini…???. Jawabannya adalah …, ADA….!!!.



Untuk bisa terbebas dari jebakan RASA ini, maka jalan satu-satunya adalah dengan KELUAR dari WILAYAH RASA itu yang berada di DADA (SUDUR, QALB). Wilayah dada ini adalah sebuah wilayah yang disebut juga TUNGKU PERAPIAN, TUNGKU PENYIKSAAN, dan sekaligus juga adalah RUANGAN PEMBEKU buat manusia di dunia ini. Di tungku inilah adanya ruangan panas dan dingin, ruangan benci dan rindu, ruangan iman dan kufur, yang akan selalu muncul silih berganti mendera setiap manusia. Kalau tidak mau terjebak dalam ketidaktetapan sifat ini, maka keluarlah dari sana. Karena kalau hanya sekedar di manajemeni, di bersih-bersihkan, ditekan-tekan, maka yang akan mucul selalu sebuah sifat yang terbolak-balik, suasana rasa yang turun-naik antara baik dan buruk. Suasana yang menyiksa diri sendiri



3.     Kebingungan Spiritual…



Nah…, perjalanan keluar dari tungku perapian inilah yang disebut dengan peristiwa SPIRITUALITAS, yaitu sebuah proses PERJALANAN (MI’RAJ) untuk menemukan wilayah DIRI Universal (Muthmainnah):



Diri yang tidak terpengaruh lagi oleh gejolak dan prahara tungku perapian. Diri yang selalu menerima pencerahan. Dan Diri itu lalu…, selalu mengarah kepada sang Penciptanya”.



Diri dengan ciri seperti inilah yang disebut sebagai diri yang tenang, Diri yang tahu memanfaatkan tungku perapian itu untuk “memasak” dunia (tanpa dia sendiri ikut terbakar didalamnya), sehingga peradaban di dunia itu menjadi berkembang dari waktu kewaktu dengan sangat menakjubkan. Akan tetapi Diri itu sekaligus juga bisa mendinginkan dan membekukan dunia (tanpa dia ikut membeku di dalamnya).



Ya…, diri yang tenang ini seperti terpisah dari prahara akibat panas dan dingin yang berlebihan dari proses pembentukan peradaban itu. Sehingga peradaban itu berubah menjadi sebuah hidangan lezat untuk dinikmati. Sebuah peradaban yang tidak panas dan tidak dingin, peradaban yang bisa mengalir membelah zaman membawa muatan yang merupakan realitas dari PAHALA atau umpan balik buat sang DIRI itu di dunia ini, saat ini juga.



Banyak orang yang masih bingung dengan istilah spiritualitas ini. Ada yang menganggapnya hanya sekedar ucapan dan gerak anggota tubuh saja dalam sebuah praktek ibadah dalam bingkai agama. Ada juga yang menganggapnya sebagai sebuah peristiwa bertangis-tangisan akibat syahdunya lantunan do’a dan dzikir yang mendayu-dayu. Bahkan ada yang mengangapnya sebagai hal yang baru dan tidak ada contohnya di zaman Nabi (BID’AH). Padahal peristiwa spiritualitas ini tanpa disadari oleh mereka, sebenarnya sedang terjadi pada diri manusia itu sendiri. Spiritualitas itu sedang mengalir dalam diri manusia tanpa tertahankan sedikitpun, yaitu “proses kejadian manusia” dari waktu ke waktu.



Manusia pada awalnya tiada, lalu ia diciptakan dari saripati tanah (unsur karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dll.) dalam bentuk air mani dan ovum yang dipersatukan, lalu ada gerak tumbuh di dalam rahim, lalu dilahirkan, lalu tumbuh dari kecil  menjadi besar kemudian tua, lalu mati…!!.

Tidak ada komentar:


ShoutMix chat widget


.